Minggu, 30 Desember 2018

Hukum Memakan Empedu (Baik itu Kambing, Sapi, Dll)

Hukum Memakan Empedu (Baik itu Kambing, Sapi, Dll)

Pertanyaan

"Assalamu’alaikum.
Mau tanya. Kalau empedu kambing yang dimakan dalam keadaan mentah itu halal atau haram?

Catatan: Penyembelihan dilakukan secara syar'i. Terima kasih."

(Dari: Thohir).

Jawaban:

"Wa alaikum salam warahmatullah wabarakatuh

Mengenai status najisnya empedu para ulama berelisih pendapat.

Ulama dari kalangan madzhab Hanafi menyatakan bahwa empedu binatang dihukumi sama dengan air kencingnya.

Jika air kencing binatang berupa najis mughalladzah atau mukhaffafah maka status empedunya pun demikian.

Dan di dalam madzhab ini juga masih terdapat perselisihan.

Imam Abu Hanifah menyatakan

Bahwa makruh tahrim hukumnya memakan cairan empedu dari binatang yang halal dimakan karena tidak boleh berobat dengan air kencing binatang.

Sementara Imam Abu Yusuf tidak memakruhkannya bila ada hajat. Pendapat inilah yang kemudian diambil oleh Imam Abu Laits dan ditetapkan di dalam fatwa madzhab Hanafi.

Ulama madzhab Maliki memberikan pernyataan bahwa empedu dari binatang yang telah disembelih adalah suci secara mutlak. Di dalam madzhab ini dinyatakan bahwa empedu adalah bagian dari badan binatang tersebut.

Sementara Ulama madzhab Syafi’i membedakan antara cairan empedu dan kulit pembungkus empedu.

Madzhab ini menetapkan bahwa cairan empedu adalah najis karena bukan bagian dari binatang yang disembelih.

Sedangkan kulit pembungkus empedu adalah mutanajjis (terkena najis) yang menjadi suci apabila telah dicuci bersih dan halal untuk dikonsumsi.

Kesimpulannya, berdasarkan pendapat madzhab Hanafi makruh tahrim (mendekati haram) hukumnya memakan empedu dan tidak makruh memakannya jika ada hajat.

Berdasarkan madzhab Maliki boleh memakan empedu dari binatang halal dimakan. Menurut mereka cairan empedu dihukumi suci. Sementara berdasarkan Madzhab Syafi’i cairan empedu adalah najis dan haram untuk ditelan. Wallahu a'lam.

(Dijawab oleh: Al Murtadho, Ubaid Bin Aziz Hasanan dan Kudung Khantil Harsandi Muhammad).




Sumber: Fikih Kontemporer


EmoticonEmoticon